AYO SINAU

Selasa, 23 Desember 2014

TEROR KEPALA JAYADRATA DAN KEMATIANNYA YANG MISTIS
Jayadrata alias Tirtonoto raja kasatrian Banakeling, Misteri menyelimuti asal usulnya, secara tak langsung dia merupakan putra dewi kunti,,,,hmmm benarkan kok bisa??
Jayadrata adalah sosok manusia yang berasal dari ari ari bima/werkudara sewaktu lahir , ari ari tersebut dibuang dan jatuh didepan seorang pertapa sakti bernama begawan sempani, oleh Begawan sempani ari/ari tersebut dipuja dan jadilah seorang laki laki gagah perkasa mirip werkudara/gatutkaca.
Setelah dewasa, dia disarankan untuk mengabdi kepada keluarga pandawa karena masih ada pertalian darah, namun sengkuni dengan licik menghasut jayadrata sehingga singkat cerita dia justru jadi sekutu kurawa dan dinikahkan dengan salah satu adik duryudana yaitu dewi dusrsilawati…..
Right singkat cerita langsung ke perang bharatayuda
Arjuna bersumpah akan membunuh jayadrata sebelum matahari terbenam karena dia menjadi salah seorang yang paling bertanggung jawab atas meninggalnya abimanyu, jika tidak terlaksana maka dia akan ikut bela pati atas kematian abimanyu.
Sengkuni CS menyembunyikan jayadrata diperkemahan dan dijaga dengan ketat oleh ribuan prajurit hastina.
Kresna tak hilang akal, saat matahari hampir tenggelam dicakrawala, dia gunakan senjata cakra untuk menutupi matahari yang akibatnya seolah olah malam telah menjelang.
Senjata cakra adalah senjata sakti yang sejatinya adalah bagaikan senjata yang terkendali oleh rasa yang ada pada hati dan diri Prabu Kresna. Mempunyai kesaktian triwikrama sebagaimana yang berlaku pada diri Prabu Kresna.
Segera dalam keremangan sore setelah prahara hujan buatan dari Arjuna, maka tak terasalah bahwa sinar matahari yang tertutup senjata cakra bagai menyambung ke masa senja yang sebenarnya.
Api pancaka sudah disulut, para Pandawa yang sudah dibisiki oleh Prabu Kresna akan tindakan yang hendak dilakukan, mengenakan pakaian serba putih. Tidak hanya para prajurit Pandawa yang hendak menyaksikan peristiwa itu, para Kurawapun ikut juga tersulut rasa penasarannya, menyaksikan dengan kegembiraan yang tiada terkira. Dalam hatinya mereka mengatakan, bahwa sekaranglah saatnya salah satu bahu Pendawa akan lumpuh dengan kematian Arjuna.
Arjuna yang sudah diberi pembekalan segera naik ke panggung , bersembunyi dalam kobaran api berseberangan dengan tempat Jayadrata berada.
Jayadrata, seorang manusia keras hati, pada dasarnya ia tidak rela dengan keadaan yang memaksanya bersembunyi bagai seorang pecundang. Rasa penasaran mengalahkan ingatannya yang telah ditanamkan pada benaknya, bahwa ia tak boleh terpengaruh oleh apapun yang terjadi disekitarnya. Maka ketika suasana makin meriah dengan teriakan yang menyebutkan Arjuna bakar diri, pertama yang dilakukan adalah melihat dari celah lubang udara. Gelapnya suasana membuat ia tak dapat melihat dengan jelas apa yang terjadi diluar. Makin penasaran, sekarang lehernya dikeluarkan untuk melihat dengan lebih jelas yang terjadi diluar sana.
Kejadian berlangsung sangat cepat. Ketika kepala Jayadrata keluar dari lubang persembunyian, matahari muncul kembali setelah Cakra dikendalikan untuk segera bergeser dari tempatnya. Secepat itu pula, Kyai Pasopati segera dilepaskan. Putus leher Jayadrata menggelinding keluar dari bunker baja.
Kembali suasana terang matahari sore membuat gaduh suasana. Werkudara sigap segera mengejar kepala Jayadrata. Saking geregetan ditendangnya kepala Jayadrata yang jatuh itu menjadi bulan bulanan para prajurit Hupalawiya. Kepala itu pada akhirnya mendarat didepan Resi Sempani.
Orang tua itu menangis memelas, melihat betapa nista jasad anak angkatnya yang dibuat permainan itu.
“Jayadrata anakku, walau kamu sudah tidak berbadan lagi, sebenarnya kamu belumlah mati. Kamu masih hidup !”
Ajaib. Kepala yang tadinya tak berdaya, dengan mata terbuka, menyala dendam terpancar dari bola mata itu !
“Gigitlah patrem ini, mengamuklah kamu atas kemauanku !” sabda sang Resi melayangkan kepala tanpa badan kembali ke medan pertempuran.
Kembali geger suasana di Kurusetra. Sepotong kepala mengamuk dengan keris tergigit di giginya. Perasaan ngeri menghinggapi seluruh prajurit Randuwatangan melihat kejadian yang membuat bulu tengkuk berdiri. Puluhan prajurit kecil menjadi korban disisa hari dengan cara yang tak terkira. Tidak hanya itu, putra lain Arjuna, Raden Gandawardaya, Raden Gandakusuma dan dan Raden Prabukusuma tewas oleh amukan kepala yang melayang layang mengerikan. Sepotong kepala dengan senjata dimulutnya !
Tidak mau banyak lagi yang menjadi korban, Kresna segera mencari tahu dimana Resi Sempani yang diketahuinya menjadi penyebab kejadian mengerikan ini. Setelah ditemukan, segera dihampiri Sempani yang tengah mengucapkan berulang ulang ucapan sakti penyebab amukan kepala anaknya. “Hiduplah Jayadrata, jangan mati”.
Berulang kalimat ini diucapkan.
Kresna hendak mengganggu dengan membalikkan kata kata namun awas perasaan Sempani dengan akal akalan Kresna. Tetap ia mengucapkan kata mantra dengan benar.
Tidak mau kalah akal Prabu Kresna, segera menjadi lalat yang mengganggu bibir dan hidung. Sehingga salahlah ia mengucapkan kata mantra sakti hingga terbalik, “ Matilah Jayadrata ! Sadar dengan ucapannya, dan kaget dalam hatinya yang segera ia maju ke peperangan. Tidak terima ia dengan akal akalan yang dilakukan Kresna.
Kepala Jayadrata yang kembali terkulai ditanah, kali ini tak dibiarkan utuh, gada Rujakpolo atau gada Lukitasari Werkudara, segera menghancurkan kepala itu menjadi tak berbentuk lagi.
Namun bahaya belum berakhir, sekarang berganti bahaya datang dari amukan Sempani. Pendeta tua, bekas raja sakti itu mendesak maju dengan sebilah pedang menebas-nebas ganas bengis, siapapun yang menghalangi krodanya. Drestajumna mencoba menghentikan amukan Sempani. Sesama menggunakan pedang ia mencoba melayani permainan pedang jago tua itu. Tetapi kekuatan orang tua itu tidak dapat dianggap enteng. Saling serang berlangsung hingga matahari sudah menyentuh ufuk.
Tidak mau bertele tele, Kresna segera mendekati Arjuna. “Adimas, segera kembali turunkan hujan, Sempani adalah orang yang tidak tahan terhadap dinginnya hujan”.
Demikianlah, tak percuma Arjuna bernama Indratanaya, yang berarti anak Batara Indra, dewa hujan. Maka hujan senja hari kembali turun dengan lebat.
Ternyata memang tidak salah, orang tua itu menggigil kedinginan, terkena hujan yang turun dingin dilangit senja. Ia jatuh terduduk tak berdaya yang kemudian napas tuanya memburu keluar satu persatu dan akirnya satu tarikan nafas mengakhiri hidup ayah prajurit sakti Jayadrata.
Jayadrata seorang yang sejatinya mempunyai kedekatan kejadian dengan Bimasena, tetapi sepanjang hidupnya ada dipihak lawan, karena hubungan kekerabatan kakak adik ipar yang dekat dengan Prabu Duryudana , ia lebih memilih tinggal di kesatrian Banakeling, daripada menjadi raja di tlatah Sindu . . .
Description: TEROR KEPALA JAYADRATA DAN KEMATIANNYA YANG MISTIS
Jayadrata alias Tirtonoto raja kasatrian Banakeling, Misteri menyelimuti asal usulnya, secara tak langsung dia merupakan putra dewi kunti,,,,hmmm benarkan kok bisa??
Jayadrata adalah sosok manusia yang berasal dari ari ari bima/werkudara sewaktu lahir , ari ari tersebut dibuang dan jatuh didepan seorang pertapa sakti bernama begawan sempani, oleh Begawan sempani ari/ari tersebut dipuja dan jadilah seorang laki laki gagah perkasa mirip werkudara/gatutkaca.
Setelah dewasa, dia disarankan untuk mengabdi kepada keluarga pandawa karena masih ada pertalian darah, namun sengkuni dengan licik menghasut jayadrata sehingga singkat cerita dia justru jadi sekutu kurawa dan dinikahkan dengan salah satu adik duryudana yaitu dewi dusrsilawati…..
Right singkat cerita langsung ke perang bharatayuda
Arjuna bersumpah akan membunuh jayadrata sebelum matahari terbenam karena dia menjadi salah seorang yang paling bertanggung jawab atas meninggalnya abimanyu, jika tidak terlaksana maka dia akan ikut bela pati atas kematian abimanyu.
Sengkuni CS menyembunyikan jayadrata diperkemahan dan dijaga dengan ketat oleh ribuan prajurit hastina.
Kresna tak hilang akal, saat matahari hampir tenggelam dicakrawala, dia gunakan senjata cakra untuk menutupi matahari yang akibatnya seolah olah malam telah menjelang.
Senjata cakra adalah senjata sakti yang sejatinya adalah bagaikan senjata yang terkendali oleh rasa yang ada pada hati dan diri Prabu Kresna. Mempunyai kesaktian triwikrama sebagaimana yang berlaku pada diri Prabu Kresna.

Segera dalam keremangan sore setelah prahara hujan buatan dari Arjuna, maka tak terasalah bahwa sinar matahari yang tertutup senjata cakra bagai menyambung ke masa senja yang sebenarnya.

Api pancaka sudah disulut, para Pandawa yang sudah dibisiki oleh Prabu Kresna akan tindakan yang hendak dilakukan, mengenakan pakaian serba putih. Tidak hanya para prajurit Pandawa yang hendak menyaksikan peristiwa itu, para Kurawapun ikut juga tersulut rasa penasarannya, menyaksikan dengan kegembiraan yang tiada terkira. Dalam hatinya mereka mengatakan, bahwa sekaranglah saatnya salah satu bahu Pendawa akan lumpuh dengan kematian Arjuna.

Arjuna yang sudah diberi pembekalan segera naik ke panggung , bersembunyi dalam kobaran api  berseberangan dengan tempat Jayadrata berada.

Jayadrata, seorang manusia keras hati, pada dasarnya ia tidak rela dengan keadaan yang memaksanya bersembunyi bagai seorang pecundang. Rasa penasaran mengalahkan ingatannya yang telah ditanamkan pada benaknya, bahwa ia tak boleh terpengaruh oleh apapun yang terjadi disekitarnya. Maka ketika suasana makin meriah dengan teriakan yang menyebutkan Arjuna bakar diri, pertama yang dilakukan adalah melihat dari celah lubang udara. Gelapnya suasana membuat ia tak dapat melihat dengan jelas apa yang terjadi diluar. Makin penasaran, sekarang lehernya dikeluarkan untuk melihat dengan lebih jelas yang terjadi diluar sana.

Kejadian berlangsung sangat cepat. Ketika kepala Jayadrata keluar dari lubang persembunyian, matahari muncul kembali setelah Cakra dikendalikan untuk segera bergeser dari tempatnya. Secepat itu pula, Kyai Pasopati segera dilepaskan. Putus leher Jayadrata menggelinding keluar dari bunker baja.

Kembali suasana terang matahari sore membuat gaduh suasana. Werkudara sigap segera mengejar kepala Jayadrata. Saking geregetan ditendangnya kepala Jayadrata yang jatuh itu menjadi bulan bulanan para prajurit Hupalawiya. Kepala itu pada akhirnya mendarat didepan Resi Sempani.

Orang tua itu menangis memelas, melihat betapa nista jasad anak angkatnya yang dibuat permainan itu.

“Jayadrata anakku, walau kamu sudah tidak berbadan lagi, sebenarnya kamu belumlah mati. Kamu masih hidup !”

Ajaib. Kepala yang tadinya tak berdaya, dengan mata terbuka, menyala dendam terpancar dari bola mata itu !

“Gigitlah patrem ini, mengamuklah kamu atas kemauanku !” sabda sang Resi melayangkan kepala tanpa badan kembali ke medan pertempuran.

Kembali geger suasana di Kurusetra. Sepotong kepala mengamuk dengan keris tergigit di giginya. Perasaan ngeri menghinggapi seluruh prajurit Randuwatangan melihat kejadian yang membuat bulu tengkuk berdiri. Puluhan prajurit kecil menjadi korban disisa hari dengan cara yang tak terkira. Tidak hanya itu, putra lain Arjuna, Raden Gandawardaya, Raden Gandakusuma dan dan Raden Prabukusuma tewas oleh amukan kepala yang melayang layang mengerikan. Sepotong kepala dengan senjata dimulutnya !

Tidak mau banyak lagi yang menjadi korban, Kresna segera mencari tahu dimana Resi Sempani yang diketahuinya menjadi penyebab kejadian mengerikan ini. Setelah ditemukan, segera dihampiri Sempani yang tengah mengucapkan berulang ulang ucapan sakti  penyebab amukan kepala anaknya. “Hiduplah Jayadrata, jangan mati”.

Berulang kalimat ini diucapkan.

Kresna hendak mengganggu dengan membalikkan kata kata namun awas perasaan Sempani dengan akal akalan Kresna. Tetap ia mengucapkan kata mantra dengan benar.

Tidak mau kalah akal Prabu Kresna, segera menjadi lalat yang mengganggu bibir dan hidung. Sehingga salahlah ia mengucapkan kata mantra sakti hingga terbalik, “ Matilah Jayadrata ! Sadar dengan ucapannya, dan kaget dalam hatinya yang segera ia maju ke peperangan. Tidak terima ia dengan akal akalan yang dilakukan Kresna.

Kepala Jayadrata yang kembali terkulai ditanah, kali ini tak dibiarkan utuh, gada Rujakpolo atau gada Lukitasari Werkudara, segera menghancurkan kepala itu menjadi tak berbentuk lagi.

Namun bahaya belum berakhir, sekarang berganti bahaya datang dari amukan Sempani. Pendeta tua, bekas raja sakti itu mendesak maju dengan sebilah pedang menebas-nebas ganas bengis, siapapun yang menghalangi krodanya. Drestajumna mencoba menghentikan amukan Sempani. Sesama menggunakan pedang ia mencoba melayani permainan pedang jago tua itu. Tetapi kekuatan orang tua itu tidak dapat dianggap enteng. Saling serang berlangsung hingga matahari sudah menyentuh ufuk.

Tidak mau bertele tele, Kresna segera mendekati Arjuna. “Adimas, segera kembali turunkan hujan, Sempani adalah orang yang tidak tahan terhadap dinginnya hujan”.

Demikianlah, tak percuma Arjuna bernama Indratanaya, yang berarti anak Batara Indra, dewa hujan. Maka hujan senja hari kembali turun dengan lebat.

Ternyata memang tidak salah, orang tua itu menggigil kedinginan, terkena hujan yang turun dingin dilangit senja. Ia  jatuh terduduk tak berdaya yang kemudian napas tuanya memburu keluar satu persatu dan akirnya satu tarikan nafas mengakhiri hidup ayah prajurit sakti Jayadrata.

Jayadrata  seorang yang sejatinya mempunyai kedekatan kejadian dengan Bimasena, tetapi sepanjang hidupnya ada dipihak lawan, karena hubungan kekerabatan kakak adik ipar yang dekat dengan Prabu Duryudana , ia lebih memilih tinggal di kesatrian Banakeling, daripada menjadi raja di tlatah Sindu . . .



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About